Rabu, 23 November 2011

Curahan : Wed, 23 Nov 11 - 23.39 pm

Malam yang cukup tenang
Hanya ada kata yang diam
Sukmaku kembali ditegur biru
Kharismatiknya menggambarkan kesombongan
Meski ada setitik senyum terselip di senyawa bibir mungilnya
Aku tetap . . haruslah diam

Gaun coklat muda
Rambut terkumpul rata sebahu
Sedikit membuat luluh
Hanya aku harus diam
Tak ada artinya berharap
“Engkau bukan siapa – siapa lagi, El !”

Suka duka sang penyair
Sekedar tertumpah di harianku
Tidak manfaat mengenang
Tak mujarab mengarang
Aku, diam !
Biru bukan lagi malaikat
Sayapnya tak seputih dulu
Matanya tak sekarip lampau
Aku hanya boleh diam

Matahari Desember sekedar terang sesaat
Biru terjun pada dimensi edukasi
Maka, semakin besarlah tuntutannya
Sedang seniman masai sepi teruslah berjarak dengannya
Sebab, ia buka perupa atau perenung

“Mampuslah kau, el !”
“Mampus . . ? Hh, ia pikir aku ini pemuda rapuh ?”

Matahari tetaplah jaya pada siangnya
Rembulan wajiblah mempesona saat malamnya
Semua ada kalanya
Semua kalanya ada
Maka ketika aku mati
Biru tetap hidup
Hingga bila aku bangkit
Barangkali sudah waktunya biru wafat
Segalanya sementara dan hal sementara di dunia adalah segalanya

Tidak selamanya aku harus mati di kubangan
Lantaran kehidupan laksana meja pertaruhan
Maka kupertaruhkan separuh waktu demi menuai masanya
Pada kalanya

“Dindaku, Jingga?!
Dengarkah engkau?
Ternyata engkau saja yang terbaik . . .”

Tadinya terpikir
Biru dan Ungu adalah mahkota
Tapi itu fana
Karena Biru terhasut roda mayapada
Lantas Ungu terpaksa oleh peradaban
Sedang engkau . . Jingga
Namamu tetap ramah bermain di taman jiwaku
Engkau kenangan baik

Cinta pertama tak bisa mengalahkan Biru yang dulu
Tapi Biru sekarang tak sebanding dengan cinta pertamaku
Tidak berarti sedikitpun
Yang ada, Jingga membunuh setiap malam sepiku
Jingga menjadi malam kekal

Nirwana hitam sepikan imaji
Malam ini tidak lagi berpelangi
Kecuali Jingga saja
(1.15 am)

0 komentar:

Posting Komentar